Saturday, November 7, 2009

3 WANITA DI G. LAMONGAN

Senin, 21 Juli 2008
Menuju Pesanggrahan Mbah Citro
Tim tiga wanita yang terdiri dari Nurul (Sidoarjo), Devim
(Probolinggo), dan Mey (adik didik Devim di PA) berniat menjejakkan
kaki di puncak G.Lamongan yang ketinggiannya sekitar 1600 mdpl dan
terletak di Kecamatan Klakah, Kab Lumajang, Jawa Timur. Gunung ini
memang tidak terlalu tinggi, tapi katanya gunung ini memiliki trek
berbatu yang lumayan berat.
Sore itu setelah packing selesai, kami berangkat dari terminal
Probolinggo menuju Pasar Klakah dengan tarif Rp 6.000,-/orang. Setelah
tiba di Pasar Klakah kami langsung naik ojek Rp 15.000,-/orang menuju
desa terakhir atau pesanggrahan Mbah Citro (sesepuh di daerah
tersebut). Jarak dari Pasar Klakah hingga pesanggrahan Mbah Citro
sekitar 10 km. Tidak jarang para pendaki menuju rumah Mbah Citro
dengan jalan kaki, karena takut kemalaman kami memilih naik ojek.

Pos Watu Gede
Setelah sowan (mampir) ke rumah Mbah Citro yang merupakan sesepuh
daerah tersebut kami melanjutkan perjalanan (pukul 17.50). Awalnya
kami melewati ladang penduduk dengan jalan yang datar-datar saja.
Kemudian vegetasi berubah yaitu berupa savana dangan medan sedikit
berbatu tapi masih taraf datar. Dan di sini nih kami sempat hampir
nyasar, bolak-balik di jalan yang sama hampir 20 menitan. Cuaca malam
itu buruk banget, kabutnya tebal (jarak pandang hanya lima meter) dan
angin sangat kencang sehingga arah tidak terlihat dengan jelas,
apalagi rerumputan yang tidak teratur membentuk semacam jalan yang
ternyata menuju arah lain. Untungnya kami mencoba menyisir tempat itu
dengan tenang dan akhirnya menemukan jalan yang benar (tadi ga
kelihatan, hehehe…).
Setelah itu kami melanjutkan menuju Pos Watu Gede. Sebelum ke sana
kita melewati tempat yang namanya cukup unik, yaitu Watu Keset. Tempat
ini penuh dengan batu-batuan hitam besar yang terpencar penataannya
yang membentuk semacam "keset" G.Lamongan. Untuk melewatinya harus
berhati-hati agar kaki tidak terperosok di sela-sela bebatuan. Mulai
dari sini penunjuk arah terlihat dengan jelas, yaitu berupa cat putih
pada bebatuan di sepanjang perjalanan. Kami tinggal mengikutinya saja,
dan kami tiba di Pos Watu Gede pukul 19.44 dan mendirikan tenda di
sini. Ini adalah tempat yang datar dan bisa digunakan untuk mendirikan
tenda dan ada sebuah batu yang sangat besar, karena itulah diberi nama
Watu Gede (Batu Besar). Cuaca tidak membaik, bahkan lebih buruk. Di
sini badai angin semakin besar, bahkan tenda yang di dalamnya ada
Devim hampir saja terbang. Mendung semakin gelap mengitari G.Lamongan.
Suasana gunung saat itu benar-benar sepi, dan tak satupun
pendaki yang naik.

Selasa, 22 Juli 2008
Pukul 03.00 dini hari kami bangun untuk segera summit attack, tapi
keadaan yang tak membaik dengan angin masih kencang dan puncak belum
terlihat membuat kami enggan mengejar sunrise. Jadilah dini hari itu
kami membuat sereal dan makan roti dengan susu. Pukul 04.30 kami siap
summit attack (malas-malasan, hehehe…). Kami hanya membawa bekal
secukupnya, sedangkan barang yang lain kami sembunyikan di balik
semak-semak. Kami tidak mau membawa beban terlalu berat karena medan
menuju puncak juga berat. Segala perasaan jelek mengenai
kemungkinan-kemungkinan terburuk berusaha kami hilangkan. Tenang
adalah upaya kami.

Medan Longsoran
Awal perjalanan berupa batu-batuan lepas yang tiap diinjak akan
menggelincirkan kaki. Lebar jalan kurang dari satu meter dengan
ilalang di kanan kiri jalan. Setelah 1.5 km kami harus pasang gigi
satu karena medannya sudah mulai 45o hingga ke puncak. Daerah
longsoran batu atau sering disebut lereng penyiksaan oleh pendaki
Probolinggo (hehehe..) membuat langkah kami melambat. Beberapa kali
kami brak bruk (jatuh) di sana-sini, tapi kami tetap senyuumm ^_^
ditemani musik dari radio butut milik Devim. Perjalanan masih jauh
sodara!!

Medan Hutan Basah
Medan selanjutnya masih trek yang tajam kemiringannya, hanya saja
kami masuk di areal hutan basah/lembab. Kalau di jalur ini meskipun
kemiringannya tajam, tapi kami dimudahkan dengan adanya akar dan dahan
pepohonan sebagai tempat berpijak atau pegangan. Jalurnya pun
bervariasi, mulai dari bebatuan lepas, pasir, bebatuan tetap, bahkan
tanah becek. Hutan G.Lamongan masih sangat rimbun. Di dalamnya seperti
memasuki dunia lain entah di pulau asing mana. Semuanya begitu berbeda
dengan beberapa ratus meter di bawah sana yang udaranya sangat panas.
Saat memasuki hutan hari mulai terang, mungkin sekitar jam tujuh, tapi
tak ada sinar mentari yang menyusup, semuanya tetap seperti pagi buta
dengan kabut yang tak mau pergi. Kami sempat istirahat di Pos Guci.
Dinamakan pos Guci karena ada sebuah guci yang diletakkan di bawah
bebatuan yang berfungsi menadah air tetesan dari batu tersebut.
Hingga puncak medan didominasi hutan basah. Hanya ada dua atau
tiga bonus saja bagi pendaki. Ada yang unik dari hutan ini, yaitu dua
buah terowongan yang terbentuk dari akar-akar pohon dan dedaunan yang
lebar dan tingginya sekitar satu meter, jadi untuk melewatinya kami
harus tiarap (seperti mau perang aja, hehehe..)

Puncak Gunung Lamongan
Ada batu besar yang menandakan bahwa puncak sudah dekat, jarak
pandang semakin pendek mendekati puncak karena kabut yang menebal dan
angin yang kencang. Pukul 08.17 kami semua tiba di puncak. Rasa haru
menyeruak di dada kami, sujud syukur kami persembahkan kepada Sang
Penguasa Alam yang telah memberi kami kesempatan mencumbu puncak
G.Lamongan.
Seandainya tidak tertutup kabut, dari puncak kami dapat melihat
tiga buah danau dari atas, yaitu Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu
Bedali. Tapi kali ini kabut tak mau mengalah pada kami dan menutup
semua pemandangan indah di bawah sana dengan hamparan putih. Meskipun
begitu kami sangat bersyukur karena bisa tiba di puncak. Kami tetap
berfoto-foto dan menghubungi beberapa teman yang lain, tiga wanita
sukses menggapai puncak.

Turun ke Pos watu Gede
Setelah sejam di puncak dan kedinginan kami memutuskan untuk
turun, matahari yang ditunggu tak muncul walau sebentar (hikz). Kami
turun dengan sangat berhati-hati dari puncak, bahkan kami sempat
"ngesot" agar tak jatuh ke kawah karena takut angin menerbangkan tubuh
kami. Kami turun melalui jalur yang sama, dan tampaklah betapa berat
medan yang kami lalui saat gelap tadi. Aku hanya geleng-gelang kepala
dan mengatakan, "Jangan hanya melihat gunung dari ketinggiannya, tapi
nikmati juga betapa berat mendaki dan turunnya." Mendengar perkataanku
Devim dan Mey hanya tersenyum dan memberikanku dua jempol ^_^ tanda
setuju, hehehe..
Setelah melewati hutan barulah pemandangan di bawah sana tampak.
Dua buah danau berjajar seperti mata G.Lamongan berwarna hijau nun
jauh di sana, yaitu Ranu Klakah dan Ranu Pakis. Lalu kami turun dan
tiba di Watu Gede pukul 12.45, istirahat sebentar lau melanjutkan lagi
ke Mbah Citro dan tiba pukul 13.50 dan singgah sebentar di sana.
Perjalanan masih jauh, kami harus menuju Pasar Klakah yang
jaraknya sekitar 10 km dengan jalan kaki. Kami sengaja jalan kaki
karena hari masih siang dan tentu saja buat menghemat dana :d 1,5 jam
kemudian kami tiba di Ranu Klakah dan rehat sebentar menikmati
hamparan air yang sangat indah. Walau hari sudah beranjak sore tapi
puncak G.Lamongan tetap berselimut kabut tebal. Setelah agak lama
beristirahat kami pulang ke Probolinggo dengan bus. Total waktu dari
Mbah Citro ke Pasar Klakah dua jam (istirahat tidak dihitung). Pukul
18.43 tiga wanita tiba di rumah Devim dengan selamat. Alhamdulillah..

Ditulis oleh : Nurul Hidayati (biergw)
25 Juli 2008

2 comments: