Saturday, November 7, 2009

PETUALANGAN YG TDK SAYA INGIN SAYA ULANGI


Saya pernah membawa Tim Jejak Petualang (JP) bertualang masuk goa
yang dalam, mendaki gunung salju, menyusuri ganasnya jeram-jeram
sungai di Kalimantan, serta menyelami lautan dalam.. Namun, saya
sama sekali tidak pernah merencanakan hanyut 24 jam di lautan lepas
dan hidup di sebuah pulau selama 4 hari tanpa makanan dan minuman
yang memadai. Setelah 3 tahun bertualang, akhirnya saya dan Tim JP
benar-benar merasakan petualangan yang sebenarnya, yang tidak ingin
saya ulangi lagi..

Tidak ada perubahan yang berarti dengan Agats, ibu kota Kabupaten
Asmat, setelah tiga tahun lalu saya dan Tim Jejak Petualang (Tim JP:
saya, Riyanni Djangkaru, Budi Kurniawan, dan Bayu Noer Rahman)
berkunjung ke sana. Rumah-rumahnya masih di atas tanah dengan tiang
fondasi dari kayu besi. Sarana jalannya masih juga menggunakan kayu
sebagai jembatan. Jadi, penduduknya sama sekali belum menginjakkan
kaki ke tanah hingga saat ini. Rumah dan kios-kios dagangan masih
juga tidak berubah dengan pemilik yang sama. Beberapa di antara
pemilik kios masih mengenali saya karena sering berbelanja dan
kadang- kadang mampir sekadar untuk berbincang-bincang. Hanya
lapangan dari kayu yang tampak lebih bagus dibandingkan dulu banyak
yang keropos. Penginapan Asmat Inn di depan pasar kini berubah jadi
toko. Saya jadi teringat kembali ketika hampir tiap sore, sambil
nongkrong di beranda penginapan, saya dan teman-teman memilih lauk
untuk makanan malam, seperti udang, ikan, dan keraka atau kepiting
Asmat yang sangat terkenal. Selain sangat murah, makanan laut ini
sangat segar karena baru diperoleh nelayan dari memancing atau
menjala.

Tim JP ikut Ekspedisi Papua bersama Tim Petualangan Bahari dan Tim
Petualangan Liar. Kami mengarungi Kepulauan Raja Ampat, Sorong,
dengan kapal pinisi selama 26 hari lamanya. Dari Raja Ampat, seluruh
tim menyebar ke berbagai pelosok di Papua. Saya bawa Tim JP ke
Merauke untuk masuk ke pedalaman, melihat suku Korowai Citak, suku
yang tinggal di atas pohon, dan suku Asmat. Tim JP sekarang
beranggotakan Medina Kamil atau Dina yang merupakan presenter baru
JP, pengganti Riyanni yang tengah hamil, asisten produser Wendy M
Firman, serta juru kamera Budi Kurniawan dan Bagus Dwi Wahyuadi. Tim
JP kembali ke Agats untuk membuat rekaman gambar keseharian orang-
orang Asmat dengan kepandaiannya yang tersohor, yaitu memahat patung
dan menari di atas perahu dengan cara berdiri, di Kampung Peer yang
terletak di bagian timur Agats.

Dari Kampung Peer kami kembali ke Agats dan merencanakan perjalanan
ke Timika keesokan harinya. Setelah kami bertanya ke sana-kemari,
ada tiga pilihan transportasi menuju Timika, yaitu dengan pesawat,
kapal laut, atau longboat. Kemungkinan menggunakan pesawat sangat
kecil karena hanya ada penerbangan hari Senin dan itu pun sudah
fully booked. Kemudian kapal laut pun tidak dapat dipastikan
kedatangannya, jadi pilihan terakhir adalah dengan menggunakan
longboat. Longboat milik Alex-lah pilihan saya karena menurut orang
Agats adalah yang terbaik dan aman. Longboat milik Alex selain
menyediakan pelampung, juga membawa mesin cadangan untuk berjaga-
jaga kalau mesin utama mati. Motoris-motoris yang bekerja untuk Alex
pun sangat berpengalaman dan tahu kondisi rute perairan dari Agats
ke Timika. Informasi ini cukup membulatkan tekad kami menuju Timika
dengan longboat. Sementara cuaca sangat mendukung, terang walau agak
kelabu, namun tidak ada tanda-tanda bakal ada angin atau ombak.

Dengan penuh semangat kami mengepak seluruh barang bawaan kami ke
longboat. Ada ransel berisi sleeping bag, matras, pakaian, obat-
obatan, bahan makanan mentah, alat masak, laptop, dan seabrek
peralatan syuting. Jumlah dan berat barang bawaan yang akan diangkut
longboat masih dalam batas toleransi, apalagi jumlah kami hanya
berlima. Seluruh barang bawaan kami diletakkan di bagian depan
longboat, yang kemudian ditutup dengan terpal biru agar tidak
terkena cipratan air laut. Kami membawa bekal makan siang juga,
ditambah makanan kecil dan minuman yang jumlahnya lebih dari cukup
untuk perjalanan selama 12 jam.

Pagi itu angin sepoi-sepoi berembus, dingin. Matahari tampaknya
masih enggan terbit, namun sinarnya sudah menerangi langit.
Menyaksikan kondisi alam demikian, tekad kami untuk menuju Timika
semakin bulat. Agus duduk di haluan longboat, dia bertugas sebagai
petunjuk dan pengawas agar longboat tidak menabrak kayu atau karang.
Di deretan bangku paling depan duduk Budi sendirian, kemudian
deretan bangku kedua ada Bagus dan Wendy. Sementara saya dan Dina
duduk di deretan bangku terakhir. Luky sebagai motoris didampingi
Yunus duduk di bagian belakang longboat. Luky, yang orang Maluku
Utara, dikenal orang-orang Agats sebagai motoris andal dan
berpengalaman. Ia sering membawa tamu melintasi rute Agats-Timika.

Kondisi longboat sepanjang 12 meter dan selebar 1,7 meter cukup
bagus, merupakan yang terbesar dan nyaman yang ada di Agats. Selasa,
6 Juni 2006, pukul 08.00 longboat yang kami tumpangi melaju perlahan
meninggalkan Agats.

Perjalanan menyenangkan

Suasana di longboat sangat ceria. Saya dan Dina ngobrol santai,
sementara Bagus dan Wendy tampak berbagi earphone, menikmati alunan
lagu dari MP3 milik Bagus. Kami semua mengenakan rain coat untuk
menahan angin yang berembus cukup kencang akibat laju longboat
berkekuatan 40 PK.

Satu jam pertama merupakan perjalanan yang menyenangkan. Langit
masih cerah, namun mulai berkabut. Kami melintasi bangunan mercusuar
yang menuntun kapal-kapal masuk ke muara Agats.

Ombak kecil mulai tampak ketika longboat meninggalkan muara Agats.
Angin yang berembus juga semakin kencang. Longboat lincah membelah
anak-anak ombak di hadapannya. Cipratan air mulai menerpa wajah saya
dan Bagus, yang disambut dengan ledekan dan tawa canda teman-teman
lainnya. Bagus dan saya basah kuyup disiram air laut karena duduk di
sisi kiri kapal di mana ombak datang menerjang. Gelombang mulai
membesar, longboat masih bisa membelah ombak yang datang. Saya
menoleh ke belakang, Luky terlihat masih tenang dan tersenyum sambil
mengemudikan longboat. Teman-teman pun masih terlihat tenang, namun
earphone MP3 sudah tidak terpasang lagi di telinga Bagus dan Wendy.
Kami semua konsentrasi menyaksikan longboat melaju meliuk-liuk
membelah ombak. Dina yang tadinya hendak memasang MP3 akhirnya
mengurungkan niatnya dan kembali memasukkan ke dalam day pack.

Suasana berubah cepat

Saya mulai gelisah ketika ombak dari arah kiri longboat semakin
besar, tingginya malah ada yang lebih dari satu meter. Guncangan
hebat mulai kami rasakan ketika longboat mulai berayun ke sana
kemari dihajar ombak. Satu waktu longboat melaju perlahan untuk
memberi kesempatan ombak yang bergulung melintas di depan, dan
terkadang longboat digas kencang untuk menghindari ombak yang
datang. Air laut semakin banyak masuk longboat. Saya lihat Yunus di
belakang sibuk mengeluarkan air dari longboat. Sempat terlintas
dalam pikiran saya untuk kembali ke Agats. Namun tiba-tiba ombak
besar menghantam dan airnya mengisi setengah tubuh longboat. Saya
dan teman-teman mulai panik, saya lihat wajah Luky pucat. Beberapa
detik kemudian ombak lebih besar datang menghantam dan
menenggelamkan longboat, menumpahkan seluruh isinya. Saya pun
terlontar ke laut. Ketika timbul di permukaan laut, saya lihat
longboat sudah terbalik. Seluruh isi longboat bertebaran di laut.
Saya sempat lihat jam yang menunjukkan pukul 10.00, jadi hanya
berselang dua jam dari Agats longboat kami terbalik.

Kemudian saya teringat nasib teman-teman. Pertama saya cari Dina,
untungnya dia tidak terlalu jauh dari jangkauan. Saya pegangi dan
tarik Dina supaya mendekat, menyusul kemudian Wendy. Mereka berdua
saya ajak berenang mendekati barang bawaan kami yang terapung di
laut. Walaupun kami semua menggunakan pelampung, saya berpikir kami
harus menemukan barang lain sebagai pelampung sekaligus pegangan
untuk menyatukan kami bertiga. Saya lihat dry box besar terapung,
lalu saya ambil dan saya suruh Dina dan Wendy untuk berpegangan ke
boks tersebut.

Di kejauhan saya lihat Budi masih memegangi kamera dan sebuah day
pack. Saya suruh Budi melepaskan kamera dan mendekat. Kamera hanya
akan memberatkan dan menenggelamkan tubuh Budi. Sesaat kemudian
ombak yang datang menghalangi pandangan saya ke Budi. Di sisi lain,
saya lihat Bagus ditolong dan ditarik Yunus untuk berenang mendekat
ke longboat. Bagus kemudian dibantu naik ke longboat dan duduk
sambil berpegangan pada tambang. Saya mencoba memandang sekeliling,
barangkali ada yang bisa saya ambil. Saya ingat day pack saya yang
berisi handphone satelit. Namun karena banyak day pack yang
dibungkus plastik hitam bertebaran, saya bingung memilih yang mana.
Belum sempat saya memutuskan, kami kembali diterjang ombak dan
barang-barang bawaan kami semakin bertebaran menjauhi kami dan sulit
untuk dijangkau.

Saya, Wendy, dan Dina mencoba berenang mendekat ke longboat yang
terbalik karena saya pikir kalau kami tetap bersama-sama akan lebih
baik. Namun, ombak yang datang berlawanan arah menyulitkan kami
mendekati Bagus dan awak longboat. Semakin kuat kami berenang,
semakin kuat ombak menerjang dan menjauhkan kami dari longboat.
Setelah saya merasa tidak mungkin lagi mendekati longboat, tiba-tiba
Budi berenang mendekat, hal ini cukup melegakan saya. Kami kini
berempat, berpegangan satu sama lain di boks yang mengapung membawa
kami entah ke mana. Saat itulah kami melihat Bagus untuk yang
terakhir kalinya.

Lidah, langit-langit, dan tenggorokan terasa kering dan perih karena
sering dilalui air laut. Ditambah lagi perut sakit melilit karena
belum ada secuil makanan pun yang masuk.

Kami pun lalu berkeliling mencari makanan dan air, sekaligus untuk
mengenal lebih jauh pulau yang akan kami tinggali. Budhi masuk rawa-
rawa untuk mencari air. Satu jam kemudian ia keluar sambil tersenyum.
Budhi memperoleh air untuk minum sebanyak satu botol obat. Ternyata
yang diperoleh Budhi adalah air hujan yang tergenang di pepohonan
sehingga baunya pun mirip bau pohon, warnanya pun kecoklatan. Apa
boleh buat.

Malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak. Selain kedinginan, saya
khawatir dengan kondisi pulau yang belum saya kenal baik. Dari arah
rawa-rawa di kegelapan malam yang pekat, terkadang saya mendengar
suara ranting patah terinjak atau suara langkah-langkah di air rawa.
Siang itu kami belum sempat masuk hutan dan melihat ada binatang apa
saja di sana. Saya khawatir kalau yang muncul buaya atau yang
lainnya. Malam itu saya lalui dengan penuh kecemasan dan ketegangan,
sementara teman-teman tertidur lelap.

Botol air mineral

Hari ke-3 (8 Juni 2006). Pagi-pagi saya dan Wendy berkeliling pulau.
Saya berharap bisa menemui kapal yang melintas di sekitar pulau. Di
pantai banyak sampah berserakan. Kami coba mengumpulkan barang-barang
yang masih bisa digunakan, seperti botol air mineral, jala bekas,
tali, dan kaleng. Kelakuan kami tidak ada bedanya dengan pemulung.
Alangkah senangnya saya bila menemukan botol mineral yang masih
berisi air. Setelah dicium dan ternyata tidak berbau, maka kami yakin
air yang terisi merupakan air mineral yang entah sudah berusia berapa
lama. Saya akan melakukan apa pun untuk bisa memperpanjang hidup saya
dan teman-teman. Air temuan itu saya bagikan ke teman-teman.

Ketika sampai di ujung pulau dari jauh Wendy teriak kapal, sambil
menunjuk ke suatu arah. Saya perhatikan memang kapal. Dada saya
berdegup kencang, kesempatan untuk dievakuasi terbuka. Saya pun
berlari di pasir, agar lebih dekat lagi dengan kapal sambil teriak
minta tolong, meniup peluit, dan mengibarkan raincoat merah saya.
Usaha saya membuahkan hasil. Di atas kapal ada orang yang melambai,
kemudian orang itu turun dan tidak kembali ke atas. Saya dan Wendy
terus berteriak minta tolong dan melambai- lambaikan tangan, sambil
terus berlari mengejar kapal. Namun, kapal terus bergerak menjauh.
Dina yang juga melihat kapal ikut berlari dan berteriak, tetapi kapal
semakin jauh dan mengecil. Terlihat kekecewaan mendalam di wajah
Dina. Dengan menjauhnya kapal, berarti harapan untuk keluar dari
pulau hilang.

Saya mencoba menghibur Dina untuk bersabar dan tabah. Saya katakan,
mungkin kapal tersebut takut untuk mendarat karena tidak mengenal
kami. Saya hanya berharap awak kapal menyebarluaskan kepada penduduk
kalau mereka melihat orang teriak minta tolong di suatu pulau
sehingga keberadaan kami diketahui orang.

Siang hari matahari bersinar dengan terik, sepertinya ada tiga
matahari di atas kepala. Kami pun masuk ke rawa dan berlindung di
pepohonan untuk menghindari panas agar tidak dehidrasi dan tidak
membuat kondisi wajah kami lebih parah lagi, yang semakin memerah
akibat tersengat matahari. Wajah di beberapa bagian mulai mengelupas.
Yang paling parah adalah Wendy, selain terbakar matahari, hampir
seluruh pipinya terkelupas akibat pipinya bergesekan dengan dry box
ketika terapung di lautan.

Ketika sinar matahari mulai meredup, saya kembali mencoba membuka
siput. Saya menemukan pembuka busi sebagai martil kemudian membuka
box charger untuk alas. Cangkang siput saya pukul dan ternyata
berhasil. Setelah dipukul berkali-kali akhirnya cangkang hancur
sehingga saya dengan mudah bisa mengambil dagingnya. Hal ini disambut
sukacita oleh teman- teman. Siang itu kami menyantap siput bakar
dengan lahap.

Sorenya saya dan Budhi berhasil menangkap seekor karaka atau kepiting
dengan capit besar. Makan malam kali ini sangat nikmat, siput dan
kepiting bakar. Belum terlalu larut malam Budhi, Wendy, dan Dina
sudah mengelilingi api unggun, pertanda akan berangkat tidur. Malam
ini teman-teman tidur dengan nyaman, baju kering, tidur di sebelah
perapian yang hangat.

Saya sendiri tidak biasa tidur cepat. Saya biasa tidur di atas jam 12
malam. Kesendirian saya isi dengan menjaga api unggun agar tetap
besar dan menghangatkan teman-teman yang tertidur lelap. Terlintas
dalam pikiran saya, semoga saja nasib Bagus lebih baik dari kami,
keberadaan awak longboat lokal yang tahu medan diharapkan bisa cepat
mengeluarkan Bagus dari laut dan menyebarkan informasi tentang kami
sehingga pencarian segera dilakukan.

Persediaan air menipis

Hari ke-4 (9 Juni 2006). Pagi ini seperti biasa sarapan kami menunya
siput bakar. Lalu dilanjutkan dengan kegiatan rutin, cari kayu bakar,
berkeliling pulau untuk memulung dan melihat barangkali ada kapal
lewat, dan cari makanan. Makanan dan minuman yang sangat minim
membuat tubuh kami semakin lemah dan tidak bertenaga. Kalau pada hari
sebelumnya kami mampu berjalan cepat, kali ini jalan pelan saja sudah
ngos-ngosan. Saya mengkhawatirkan kondisi teman-teman akan semakin
memburuk jika tidak cepat ditemukan. Luka-luka di bagian wajah dan
kaki teman-teman juga jadi ancaman serius kalau sampai infeksi bisa
membuat tubuh panas demam. Mau menangis rasanya kalau membayangkan
bila hal ini terjadi. Terlebih lagi persediaan air genangan sudah
habis, hari ini kami sama sekali belum minum. Saya bingung dan tidak
tahu harus berbuat apa. Saya hanya bisa berdoa agar tim SAR atau
nelayan cepat menemukan kami dan turun hujan.

Tetap bertahan hidup di pulau adalah pilihan terbaik. Kalau kami
pindah ke pulau lain, dikhawatirkan kondisi pulau berawa-rawa
sehingga kami harus membangun bivak di atas pohon. Hal itu tentunya
akan menyulitkan kami untuk bertahan hidup karena sangat sulit
membuat api unggun dan mencari makan.

Dina, saya perhatikan, tengah membuat alat pancing, kailnya dari
peniti, pelampungnya dari batang kayu, dan benang dari tali jala yang
diurai. Bukan main nih anak, ada saja yang dia kerjakan yang
bermanfaat untuk kami. Dina jugalah yang membuat teman-teman tetap
semangat untuk bertahan hidup.

Hanya kurang dari lima menit Dina bisa memancing ikan dua ekor dengan
pancingnya. Sayangnya, ikan hasil pancingannya adalah ikan buntal
yang sangat berbahaya kalau dimakan karena beracun. Tanpa kecewa
dilepaskannya lagi ikan buntal tersebut dan dia mencoba lagi
memancing di tempat lain hingga akhirnya ia memperoleh tiga ekor ikan
masing-masing sebesar ibu jari kaki. Lumayan untuk merasakan aroma
lauk lain di samping siput.

Saya tidak mau kalah dengan Dina, saya buat tombak dengan mata tombak
dari pinset yang diikat ke sebatang kayu dengan tali. Saya buat
tombak karena saya pernah lihat ikan sebesar paha berkeliaran di rawa-
rawa. Salah seekor dari ikan tersebut pernah saya tombak, tetapi
lolos.

Sepertinya doa kami akan terkabul, awan gelap menggelayuti langit-
langit. Kalau hujan turun, pastinya kami akan memperoleh air minum.
Kami pun menyiapkan dry box untuk menampung air. Kemudian kami juga
menyiapkan terpal untuk menutupi api unggun agar tidak mati.

Benar saja, hujan turun dengan derasnya, penampung dengan cepat
terisi. Dengan sukacita kami mengambil gelas dan meminum air hujan di
dry box. Mata saya berkaca, terima kasih Tuhan. Di saat kami kehausan
karena seharian tidak minum, Kau turunkan air hujan untuk kami. Tanpa
peduli basah kuyup kami tengadah meminum air hujan sepuasnya.

Diselamatkan

Malam itu kami tidur di atas pasir basah, pakaian basah, angin dingin
berembus, tetapi tidak kehausan lagi. Dari hari ke hari kami terbiasa
dengan penderitaan. Kami tidak peduli lagi ketika hujan turun
mengguyur tubuh ketika kami tidur.

Hari ke-5 (10 Juni 2006). Kami berhasil menampung air hujan semalam
dalam empat botol air mineral ukuran besar, cukup untuk persediaan
air minum beberapa hari ke depan. Siput pun berlimpah. Namun,
keresahan mulai menghinggapi hati saya, mengapa belum ada juga usaha
pencarian terhadap kami. Sudah empat hari ini sama sekali tidak ada
speedboat, pesawat, atau helikopter SAR yang melintas melakukan
pencarian. Apakah musibah yang menimpa kami sama sekali belum
diketahui orang dan kantor.

Berbagai analisis dan perkiraan berkecamuk di kepala saya. Alex,
pemilik longboat, seharusnya curiga kalau longboat-nya tidak pernah
sampai Timika. Harusnya Alex melaporkan kejanggalan ini kepada yang
berwajib sehingga upaya pencarian dilakukan. Demikian harapan saya di
antara keputusasaan yang sedikit-demi sedikit mulai menggerogoti.

Berat rasanya untuk tetap bertahan dengan kondisi seperti ini.
Apalagi siangnya saya melihat air pasang terus meninggi sehingga
tanah yang biasa kami injak semakin sempit. Berkali- kali kami harus
memindahkan api unggun karena sudah tertutup air. Sementara bivak
yang kami bangun sudah roboh dihantam air pasang. Kalau demikian
terus, kami harus tinggal di atas pohon, yang tentunya akan semakin
menyulitkan kami untuk bertahan karena tak bisa membuat api unggun.
Nantinya siput akan kami makan mentah-mentah. Ngeri saya membayangkan
bila hal itu terjadi.

Tiba-tiba saya melihat ada pesawat melintas di atas kami. Dengan
cepat saya berteriak ke teman-teman. Mereka semua berhamburan keluar
rawa dan melambaikan raincoat yang berwarna cerah dan berteriak minta
tolong. Harapan akan ditemukan kembali timbul di hati kami. Kami
semua yakin pesawat yang melintas tengah melakukan pencarian.
Logikanya, kalau pesawat reguler yang melintas, tidak mungkin sedekat
itu terbang dan melakukan manuver. Kami berdoa awak pesawat dan
penumpang melihat kami dan cepat menjemput kami.

Selepas pesawat melintas kami semua terdiam sibuk dengan pikiran
masing-masing, kecuali Dina yang tengah sibuk membakar sate siput
yang kini menjadi makanan kegemarannya. Satu jam berlalu tanpa
terjadi apa-apa. Namun, tiba-tiba Budhi terlonjak berdiri dan berlari
ke arah pantai. Budhi berteriak, "Speed.speed. ." Memang tidak lama
kemudian muncul speedboat menghampiri kami. Kami semua melonjak
kegirangan, berteriak sekeras-kerasnya, dan berpelukan, tanpa terasa
mata kami sudah berkaca-kaca, lalu bertangisan. .

Dituliskan oleh :
DODY DJOHAN JAYA (Jejak Petualang)
5 juni 2006

No comments:

Post a Comment